|
Peter Ellingsen, selama periode 1988-1991, adalah seorang koresponden Australia yang ditempatkan di Tiongkok. Ia menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana para pelajar yang berunjuk rasa secara damai ditindas dengan brutal oleh penguasa negeri itu. Ia terseret ke dalam arus kerusuhan waktu itu dan melihat tentara melepaskan tembakan di ibu kota.
Berikut adalah terjemahan halaman depan tulisan Peter Ellingsen mengenai peristiwa 4 Juni Tiananmen:
Setelah melihat pembantaian awal, saya merasa sangat terkejut. Setelah itu, saya melihat susul menyusul lebih banyak lagi pelajar – pelajar Tiongkok yang satu persatu roboh ke tanah. Pemandangan darah segar menyembur deras dari wajah para pelajar yang masih berusia belasan tahun seringkali terlihat. Seorang mahasiswa dari Universitas Beijing merangkul bahu saya dan berkata dengan nada suara rendah, parau namun tegas, “Harus beritakan aib ini kepada seluruh dunia.”
Setelah melihat pembantaian awal, saya merasa sangat terkejut. Setelah itu, saya melihat susul menyusul lebih banyak lagi pelajar – pelajar Tiongkok yang satu persatu roboh ke tanah. Pemandangan darah segar menyembur deras dari wajah para pelajar yang masih berusia belasan tahun seringkali terlihat. Seorang mahasiswa dari Universitas Beijing merangkul bahu saya dan berkata dengan nada suara rendah, parau namun tegas, “Harus beritakan aib ini kepada seluruh dunia.”
Kami berpelukan dengan sangat kaku, lalu ia pun berlari pergi, menyongsong barisan tentara (berjarak sekitar 100 meter) yang sedang memberondongkan senjatanya. Di tengah malam yang penuh kesedihan dan ke-pedihan yang tak dapat dihapuskan; itu adalah pemandangan sekejap yang menyentuh perasaan setiap manusia.
7 minggu sebelum kejadian itu, para pelajar yang terjun dalam upaya memperjuangkan demokrasi, merelakan semua yang mereka miliki; tidak mungkin ada manusia yang tidak terharu dengan perjuangan dan keberanian para pemuda yang cerdas dan bercita–cita luhur seperti mereka.
Para pelajar memang sudah mengawatirkan hal ini akan terjadi. Mereka mengenakan celana jeans dan sepatu kets menghadapi barisan tentara moderen yang begitu besar dan kuat, akhirnya (pembantaian itu) memang terjadi. Bagi seorang wartawan asing yang sedang berada di jalanan Beijing, itu sungguh sangat keji, begitu kejinya sampai–sampai saya tidak berani percaya bahwa semua ini adalah kenyataan.
Ketika senapan serbu jenis AK-47 itu memberondongi tubuh para muda mudi itu menjadi seonggok benda yang mengerikan. Seorang pemuda berusia sekitar 18 tahun, satu detik sebelumnya masih berdiri 20 meter di depan saya, namun detik berikutnya, dahinya tertembus peluru, dan tersungkur ke tanah, tewas seketika. Para saksi mata hanya bisa mundur dan berlindung di tengah kegalauan yang tak terbayangkan oleh mereka.
Saya sama sekali tidak menyangka barisan tentara itu akan tega membunuh rakyatnya sendiri, namun mereka melakukannya, hal ini sungguh membuat saya shock.
Saya sama sekali tidak menyangka barisan tentara itu akan tega membunuh rakyatnya sendiri, namun mereka melakukannya, hal ini sungguh membuat saya shock.
Di tengah kegelapan malam, tidak ada seorang pun yang bisa memastikan dari mana asalnya tembakan senapan dan meriam, atau kemanakah tembakan tersebut diarahkan.
Berdiri di jalan utama kota Beijing, saya melihat seorang gadis yang rambut panjangnya dikepang ke belakang roboh ke arah belakang, tubuhnya sepertinya nyaris hancur lebur. Teman-temannya memegang kaki dan tangannya, menggotongnya dengan langkah terseok–seok, membawanya ke dalam tenda Palang Merah, namun tubuh gadis itu, lebih menyerupai puzzle merah tua yang harus disusun–susun menjadi satu kesatuan, dan bukan lagi jasad manusia yang utuh.
Tiba di dalam tenda, ia diletakkan di atas lantai semen yang dingin, terbaring bersama-sama dengan sejumlah jasad-jasad lainnya yang juga tidak lengkap anggota tubuhnya, yang masih menunggu (mungkin telah tewas) pertolongan untuk dikirim ke rumah sakit. Di sana terbaring banyak sekali jasad-jasad lain yang bernasib sama dengannya.
Di jalan lingkar luar ke dua yang berjarak beberapa kilometer dari situ ada tempat tinggal seorang warga asing, di depan rumahnya ada tubuh seorang pemuda yang dilindas kendaraan lapis baja di atas jalan aspal itu, organ tubuh pemuda itu berhamburan kemana-mana; sementara kendaraan tank lapis baja terus dikemudikan masuk ke areal Tiananmen, ia hanyalah salah satu dari puluhan remaja yang dilindas oleh kendaraan militer semacam itu.
Metode Pembantaian Berbeda
Kira-kira pukul 7 pagi, pembantaian besar-besaran itu sepertinya telah berakhir, saya melihat lewat jendela apartemen; toko persahabatan di situ: dulunya banyak wisatawan yang berambut aneka warna, tawar menawar saat membeli ukiran batu giok, namun saya justru melihat kendaraan tank menembakkan meriamnya.
Saya menyaksikan 8 orang dibunuh; dan dosa mereka satu-satunya waktu itu adalah berada di jalanan pada saat itu. Semua manifestasi yang luar biasa realis-tis itu, seolah–olah seperti figur batu marmer yang dingin telah menjadi hidup.
Orang – orang yang saya kenal tidak mati; ini yang saya ketahui; namun ada sejumlah rekan kerja saya yang terluka parah. Seorang wartawan berita Reuters dianiaya oleh polisi berpakaian preman ketika hendak kembali ke kantornya; dan seorang rekan wartawan dari London’s Independent juga mendapat penganiayaan.
Meskipun telah dilakukan upaya penyelidikan melalui jalur diplomasi, namun nasib 3 orang wartawan foto CBS yang dianiaya di lapangan itu dan dipaksa naik ke jeep tentara di bawah todongan pistol Rifle tentara, tetap tidak diketahui nasibnya.
Terhadap segala sesuatu yang telah terjadi, selain perasaan muak; saya tidak tahu ada orang yang mendukung perintah militer yang kejam seperti itu. Namun bagi para penguasa setempat, sepertinya itu sama sekali bukan masalah berarti.
Deng Xiaoping sepertinya lebih mirip seorang perancang/arsitek pembantaian; waktu itu ia adalah pemimpin yang teramat penting di Tiongkok, konon ia memberitahu sekretaris utamanya, Zhao Ziyang (Zhao Ziyang adalah satu-satunya tokoh pejabat tinggi yang secara terang-terangan menentang pembantaian ala militer itu), yang berpikiran moderat, “Orang–orang di jalanan itu tidak memiliki hak pilih.”
Menurut penuturan, Deng juga pernah memberitahu penerus jabatannya yang selama ini dilindunginya, “Saya memiliki 1 juta personel tentara yang mendukung saya.”; dan dijawab oleh Zhao Ziyang, “Saya memiliki rakyat seluruh Tiongkok yang mendukung saya.”
“Kalau begitu kamu akan kehilangan segalanya,” menurut cerita, begitulah Deng Xiaoping menjawabnya. (Su Yun/Dajiyuan/whs)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar